Banyak orang berkata, “Tenang, nanti juga sembuh seiring berjalannya waktu.” Seolah waktu memiliki kemampuan ajaib untuk menyembuhkan luka tanpa kita perlu melakukan apa pun. Tapi kenyataannya, waktu sendiri tidak pernah benar-benar menyembuhkan. Luka yang hanya dibiarkan akan tetap ada, mengendap di hati, dan mungkin suatu saat meledak dengan cara yang tidak terduga.
Pernahkah kita merasa, sudah bertahun-tahun berlalu, tapi rasa sakit dari kejadian tertentu masih terasa seperti baru kemarin? Itu karena waktu tidak serta-merta menghapus luka. Ia hanya memberi kita ruang untuk berpikir, untuk memproses perasaan, untuk mengambil pelajaran. Tapi kalau kita hanya diam, berharap luka akan sembuh dengan sendirinya, itu sama saja seperti membiarkan luka fisik terbuka tanpa pernah diobati. Mungkin awalnya terasa biasa saja, tapi perlahan, luka itu bisa membusuk, menjadi semakin dalam, bahkan meninggalkan bekas yang lebih menyakitkan.
Sembuh bukan sekadar menunggu waktu berlalu, tapi tentang bagaimana kita menghadapi rasa sakit itu. Apakah kita memilih untuk mengabaikannya, menumpuknya dengan kesibukan agar lupa, atau justru kita berani menghadapinya?
Jika ada sesuatu yang membuat kita terluka—kehilangan seseorang yang berarti, dikhianati oleh orang yang kita percaya, gagal meraih sesuatu yang kita perjuangkan, atau bahkan kecewa pada diri sendiri—jangan hanya menunggu waktu menyelesaikannya. Waktu hanya berjalan, tapi kitalah yang harus bergerak.
Menyembuhkan luka butuh usaha. Mungkin itu berarti menerima kenyataan yang sulit, mengizinkan diri untuk menangis, berbicara dengan seseorang yang bisa dipercaya, menulis perasaan agar tidak mengendap terlalu lama di dalam hati, atau bahkan memaafkan, baik orang lain maupun diri sendiri.
Kadang, kita terlalu keras pada diri sendiri. Kita berpikir bahwa kita harus kuat, bahwa menangis adalah tanda kelemahan, bahwa mengeluh adalah hal yang memalukan. Padahal, justru dengan mengakui bahwa kita terluka, kita bisa mulai menyembuhkan diri. Tidak ada yang salah dengan merasa sakit. Yang menjadi masalah adalah ketika kita menolak untuk menghadapi dan justru membiarkan diri kita tenggelam dalam kepahitan.
Sembuh itu bukan proses instan. Tidak semua luka bisa hilang dalam hitungan hari, bulan, atau bahkan tahun. Tapi yang penting adalah kita berusaha, sedikit demi sedikit. Tidak apa-apa kalau hari ini masih terasa sakit. Tidak apa-apa kalau kadang masih menangis. Yang penting, kita tidak berhenti mencoba untuk bangkit.
Salah satu bagian tersulit dalam proses penyembuhan adalah melepaskan. Kadang, kita tidak sadar bahwa yang membuat kita terus terluka bukan lagi peristiwanya, tapi cara kita menggenggamnya terlalu erat. Kita terus mengulang-ulang kenangan, terus bertanya “kenapa harus terjadi?”, terus menyalahkan diri sendiri atau orang lain. Padahal, semakin erat kita memegang sesuatu yang menyakitkan, semakin dalam pula luka yang kita rasakan.
Memaafkan bukan berarti melupakan, bukan berarti membenarkan apa yang terjadi. Tapi memaafkan adalah cara kita membebaskan diri dari belenggu masa lalu. Melepaskan juga bukan berarti tidak peduli, tapi justru cara kita menunjukkan bahwa kita cukup kuat untuk melanjutkan hidup.
Sembuh adalah pilihan, bukan keajaiban yang datang dengan sendirinya. Jika kita ingin benar-benar sembuh, jangan hanya menunggu waktu. Rawat diri kita, beri ruang untuk merasa, belajar dari pengalaman, dan perlahan-lahan, lepaskan apa yang memang harus dilepaskan.
Bukan karena waktu yang menyembuhkan, tapi karena kita memilih untuk bangun dan tidak menyerah untuk keluar dari rasa sakit.
Gabung Dengan Komunitas Untuk Berkomentar