Ketika kita berbicara tentang dunia pendidikan, pasti hal yang terlintas dalam benak kita adalah guru dan murid atau ustadz dan santri. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa perannya seorang guru/ustadz adalah mengajar. Tapi apa jadinya bila murid/santri yang kita ajari malah memiliki pemahamannya sendiri dan berlawanan dengan apa yang telah kita sampaikan dalam sesi mengajar? Mari kita simak beberapa ulasan kitab kuning yang berkaitan dengan hal ini.
Dalam kitab Maraqil 'Ubudiyyah, Syekh Nawawi Al-Bantani mengutip penggalan syair yang menyebutkan:
قال الشاعر:
وكم من صغير لاحظته عناية * من الله فاحتاجت إليه الأكابر
Seorang penyair berkata: "Begitu banyaknya anak kecil yang mendapatkan inayah dari Allah, sehingga kebanyakan orang dewasa membutuhkannya."
Tidak berhenti di sana, Syekh Nawawi Al-Bantani melanjutkan penjelasan beliau dengan ungkapan:
ومن خصوصيتنا قبول الحق ولو من صغير ورد الصغير على الكبير في الحق بخلاف الأمم السابقة إذا أخطأ الكبير لم يتاجسر أحد على الرد عليه فيصير خطؤه شريعة يعمل بها في الكون.
"Sebagian kekhususan umat nabi Muhammad adalah menerima kebenaran meskipun dari anak kecil dan anak kecil dapat membantah orang dewasa bila menyangkut kebenaran. Berbeda halnya dengan umat nabi-nabi yang terdahulu, apabila ada orang dewasa yang telah salah dalam mengambil langkah, maka tidak ada seorang pun yang berani mengambil resiko untuk membantahnya. Sehingga kesalahan yang dilakukannya menjadi syari'at yang diamalkan penghuni alam."
Dalam dunia pesantren sering kita temui berbedanya pemahaman antara ustadz dan santri dalam memahami isi kitab kuning. Masing-masing terkadang bersikeras terhadap pemahamannya sendiri. Tapi tidak jarang juga santri yang harus mengalah, karena ustadz tidak memberikan santrinya ruang untuk mempertahankan pendapat.
Mungkin para pembaca akan mulai berfikir seperti ini "Di saat perbedaan pemahaman ini timbul, apakah selalu murid/santri yang harus dibenarkan? Dan guru/ustadz lah yang seharusnya disalahkan?" Tidak. Bukan itu yang dimaksudkan. Karena mungkin memang pemahaman guru/ustazd lah yang lebih sesuai dengan isi buku/kitab.
Ini bukan soal siapa yang harus dibenarkan dan siapa yang seharusnya disalahkan . Tapi ini adalah soal berlapang dada menerima kebenaran mau dari siapapun kebenaran itu datang, bahkan dari murid sekalipun. Begitu pula sebaliknya, tidak pantas bagi kita murid membuat benarnya pemahaman guru menjadi hal yang diragukan hanya agar kita terlihat pintar dalam membantah pemahaman guru. Silakan luruskan jika memang ada pemahaman yang engkau anggap keliru, tapi jangan lupakan etikamu.
Gabung Dengan Komunitas Untuk Berkomentar